Senin, 01 Februari 2010

020210

Aku menulis surat ini untukmu, An. Untuk setidaknya mengingat senyum yang kamu berikan dulu untukku. Untuk tawa dan kehangatan yang kamu tawarkan padaku. Untuk telah mengajariku mengenal ketulusan dan kejujuran. Untuk membuka duniaku bahwa semua tidak seburuk yang aku pikir. Untuk mengisi satu cerita di bagian hidupku, dengan kenangan yang manis dan kuat.

Aku juga tak menyangka mengapa kita bertemu. Yang aku ingat, hari pertama kuliah waktu itu, kita menarik kursi yang bersebelahan. Kamu dengan kamera slr mu. Kamu dengan kaos longgar dan sepatu asal-asalan. Kamu dan seluruh tingkah hangatmu. Aku tak peduli, saat itu. Tak pernah aku berharap akan mengenalmu. Tapi lalu kamu melakukannya.

“ Hei, apa kamu bawa buku kalkulus? Boleh bareng? Aku tidak punya buku,,” katamu ramah. Dan aku menatapmu kaku, menggeser sedikit buku tebal itu agar bisa berdua kit abaca.

“ Aku An, namamu?” tanyamu, lagi lagi dengan ramah. Aku benci keramahan, kamu tahu? Aku benci keramahan yang palsu. Dan aku kembali diam, hanya melirik sinis, dan tidak peduli. Kamu tersenyum

“ Ahh, kamu Sila? Oke sila, salam kenal ya,,”. Katamu setelah membaca tulisan rapi di sampul buku, mengulurkan tangan, menawarkan kehangatan. Aku ragu-ragu. Menerima uluran tanganmu, membalas genggaman singkat.

Aku tidak suka orang orang seperti itu-yang awalnya aku pikir hanya berpura-pura baik. Kamu melakukannya ke semua orang seolah kamu ingin menunjukkan kamu peduli, tapi lalu kamu pura-pura tidak kenal saat orang itu melakukan kesalahan yang memalukan.

Tapi kamu tidak pernah menyerah dengan kesendirianku. Dengan keenggananku yang jelas-jelas aku tunjukkan.

“ Kamu tidak ke kantin? Apa kamu tidak lapar? Bukankah daritadi kamu tidak makan?”

“ tidak, terimakasih,” jawabku. Melirik singkat, lalu meneruskan membaca buku ku.

“ Aku mau pergi, apa kamu mau titip sesuatu? Memangnya kamu kuat tidak makan seharian?”

“ aku baik baik saja. Bisa diam? Aku butuh tenang,” kataku datar.

“ Hmm, apa kamu akan meneruskan membaca buku? Kamu suka membaca ya? Aku dulu juga. Kamu suka siapa?”

“ Pentingkah itu buatmu?”

“ Hahaha, kenapa jawabanmu ketus begitu? Apakah kamu terganggu karenaku?”

“ Apa kau tidak bisa mengira-ira sendiri apa jawabannya?” Dan lalu kamu tersenyum, menyingkir, dan pamit padaku, masih dengan lembut dan ramah.

Atau kebaikan-kebaikanmu yang sering membuat aku bertanya,An. Yang kadang membuatku sebal, tapi lalu menyadarkanku tidak semua orang seperti itu.

“ Hentikan,” kataku ketus. Kamu mengambil gambarku. Tanpa ijin. Saat aku sedang duduk di kursi pojok ku, membaca buku.

“ Aku hanya memotret, apa itu salah?” katamu santai.

“ Tidak bisakah kamu cari objek lain?” aku menatapnya tajam.

“ Ayolah sil, ini seru. Lebih baik kamu letakkan bukumu, dan bergabung bersama yang lain. Kamu terlalu sendiri.” Kamu duduk di kursi sampingku.

“ Aku rasa ini adalah hidupku,”

“ Hmm, dan akan lebih berwarna kalau kau mengisinya dengan lebih banyak teman, bukan?”

“ Siapa kah kamu, menguliahi ku soal hidup? Aku tahu lebih banyak tentang hidupku daripada kamu. Dan hentikan foto2an itu. ”

Dan kamu menurunkan kamera mu, batal meneruskan memotret. kamu tidak terluka lalu membenciku, tapi keesokannya membawakan hasil foto tadi. Lengkap dengan bingkai buatan sendiri-mu. Aku tidak terkesan, aku menjaga agar tidak terkesan.

Begitu juga saat kamu menemukanku sendiri di sudut kantin, sedang sembab. Aku baru menangis, karena satu hal yang aku tidak mau diketahui.

"Kamu menangis?" tanyamu.

" Bukan urusanmu," kataku, menghindari tatapan matamu.

" Ah,apa yang terjadi sil ?" kamu memelankan suara.

" Perlukah aku memberitahumu?" aku membentak.

" Apa aku bisa membantu?" kamu masih belum menyerah

" Ya, jika kamu diam dan pergi," kataku ketus. Lalu apa yang kemudian kamu lakukan? Kamu tidak berubah jadi kesal lalu meninggalkanku. tapi memaksaku menerima saputanganmu, dan menungguiku dalam diam. Sambil duduk jauh, tanpa bertanya apa-apa lagi. Lalu ketika aku mengembalikan saputangan itu, kamu tersenyum dan bilang kamu bahagia karena aku sudah tidak sedih lagi.

Juga saat kita bertemu di taman kota, saat kamu menunjukkan tempat itu padaku. Yang akhirnya meruntuhkan semua tembok ketidakpercayaanku. Yang menyadarkankui bahwa rasa sakit ini tidak perlu terus aku pelihara. Yang menjadikanku mengerti, ada bagian-bagian dalam hidup yang bisa menjadi indah jika kita mnginginkannya begitu.

“ Sila!!” kamu menyapaku, tepat di depanku yang sedang duduk sendiri membaca di kursi taman. Aku mendongak, dan bertemu dengan mata bersahabatmu. Tentu dengan slr yang biasa, tergantung di dadamu. Lalu aku mengernyit.

“ Kenapa kamu ada di sini?”

“ KEnapa tidak boleh??? Hahhah kebetulan sekali ya,,”

“ Ya. Kebetulan yang tidak diharapkan,” kataku ,kembali meneruskan membaca, bersikap tak acuh.

Lalu kamu duduk di sampingku.

“ Aku sedang memotret. Apa kamu sedang membaca buku seperti biasanya? Wah, sekarang aku tahu kenapa kamu begitu pintar di kelas,”

“ Dan apakah kamu akan ribut seperti biasanya?”

“ Hahaha. Aku tidak mau berisik. Ah yaa, maukah kamu aku tunjukkan suatu tempat? Ayo!! “ katamu, mengajakku pergi. Aku menatap ajakan tanganmu setengah hati.

“ Aku tidak mau ikut, “ kataku pelan dan egois. Tapi lalu kamu memaksaku. Kamu menarik tanganku, memaksaku berdiri, dan membawaku kesana. Ke tempat itu, ke sisi taman yang lain, yang membuatku terkejut. Yang begitu indah. Yang menakjubkan, dan pertama kalinya aku lihat. Aku terkesan sebentar, lalu mendapatimu sedang melakukannya- memotretku.

“ Maaf,” katamu, lalu menurunkan kamera. Ragu ingin membentak karena risih, tapi aku hanya diam. Dan kembali menikmati keindahan. Ada jeda yang lama kemudian. Kamu tidak pernah sediam ini sebelumnya. Atau kamu mulai terbiasa denganku yang tidak suka keramaian? Yang setelah kejadian ku dulu, lalu membenci keramain kini. Aku menunggu kamu tertawa lagi, atau setidanya mengatakakn sesuatu. Atau apa kamu menungguku bicara?

“ kenapa kamu suka memotret? “ tanyaku akhirnya, pelan. Ini pertama kalinya aku bertanya. Ah, itu kali pertama aku bertanya duluan pada orang lain.

“ kenapa kamu suka sendiri? “ kamu balik bertanya, sambil memotret sekitarmu.

“ entahlah. ada saatnya orang tidak punya alasan dalam melakukan sesuatu,”

“ hahahha kamu benar. dan mengenai pertanyaanmu tadi, aku tidak punya alasan khusus,” katamu. Aku tersenyum.Itu pertama kalinya lagi aku bisa tersenyum.

Dan seingatku, itu adalah percakapan kita yang terakhir. Karena besoknya, kamu tidak ada lagi di kelas, duduk di sampingku seperti biasa. Kamu seolah lenyap, dan tak ada yang tahu kamu kemana dan kenapa. An, bahkan kita belum sempat berkenalan panjang lebar. Bahkan aku tidak tahu nama lengkapmu. Aku tidak tahu apa yang bisa kamu kerjakan selain memotret. Aku belum bertanya mengapa kamu suka tersenyum dan belum minta diajari cara menjadi ramah. Kita baru bertemu selama satu bulan, lalu kamu hilang begitu.

Yang aku ingat, An, seminggu setelah kamu entah kemana, aku menerima nya. Sekantung paket, dan sepucuk surat. Isinya foto. Foto kelas, foto gedung kampus, foto keriangan teman-teman kita, foto taman itu, foto beberapa tempat yang tidak aku tahu tapi jelas indah, dan foto-foto ku. Dan surat yang berisi kalimat-kalimat yang indah.


aku bisa melihatmu
senyummu yang tipis, pandangan matamu yang kuat
kata-katamu yang semaunya, bicaramu yang angkuh,

nada marahmu yang sarkasme, jawabanmu yang keras kepala
argumenmu yang kuat, pertanyaanmu yang menunjukkan ketidaksukaan

ketenanganmu saat kamu sendiri, rasa nyaman saat duduk dan membaca

kerinduanmu akan kehangatan
sikapmu yang apa adanya

semuanya,
aku melihatmu
dari lensaku


Lalu An, mengapa aku menangis? Mengapa aku merasa kehilangan sekali dan merasa sakit?

Bisakah kamu kembali ke sini? Karena banyak yang harus aku katakan, An. Banyak yang harus aku terimakasih-i padamu. Auntuk tetap tersenyum walaupun yang aku lakukan hanya marah dan tidak suka. Untuk tetap memaksaku menerima bahwa tidak semua orang tidak baik. Untuk telah memotretku. Untuk telah menunjukkan padaku tempat itu. Untuk telah membuka rasaku .Untuk telah mengisi ruang kosong di hatiku dengan semua tentang kamu.

An, entah mengapa aku sungguh rindu pada semuanya. Semua tentangmu. An. Aku rasa, aku mencintaimu.




kosan.020210. di atas kasur. 01.20. mengenangmu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar