Kamis, 18 Maret 2010

surat yang tidak pernah sampai

Pada lembar pertama kamu pasti sungguh kesulitan merangkainya, karena kata katamu agak sulit dia mengerti, terang saja, kalian kan berbeda. Kamu sungguh multidimensi, sungguh berdunia luas. Punya afeksi yang tak terbatas. Dan dia sungguh monokrom. Ruangannya sempit, dan kurang dimensi. Baginya dialog antara kalian adalah absurdbitas, seperti layaknya seseorang dengan alien dari alam tidak berlogika.
Kamu lalu menulis semuanya, dengan lancar setelah baris baris pertama, karena akhirnya kamu berfikir, tidak peduli berapa banyak tanda tanya akan metafora yang kamu tulis, dia akan susah emngerti, tapi kamu biarkan saja ia membacanya dengan pusing. Karena dalam kamus kalian, cinta tetap dapat terartikan, walaupun dengan gaya bahasa yang terlalu indah, karena bagi kalian itu adalah kata-kata kunci yang menjadi jembatan penghubung antara dua planet yang berbeda.

Lalu secara sadar kamu akan menulis tentang hari-hari sebelum ini, saat-saat dimana kamu dan dia berbagi semuanya, dalam satu tempat yang hanya ada kalian, bumi dan langit. Kamu menoleh ke belakang, dan menyadari, berapa banyak perjalanan nyata yang kalian lakukan, bukan Cuma wisata hati, dari satu kekecewaan ke kebahagiaan. Tapi pada semua kenangan yang sudah kamu dan dia buat. Kamu membuat dirimu sendiri merasakaanya. Perasaan yang dulu kamu tidak suka, karena itu akan segera membuatmu goyah dan merasa rapuh. Karena kamu tidak kuat, karena kamu hidup bertahun-tahun dalam alam rasa, dan kamu selalu menjauhi rasa itu. Kamu akan mengenang, dan segera saja kamu dipenuhi pertanyaan-pertanyaan kenapa akmu menulis surat ini, yang bisa berarti dua hal, kamu menghentikan tulisan ini atau semakin cepat menulis dengan tulisan yang lebih banyak majas.

Baris baris selanjutnya tentu akan membuatmu takut. Kamu benci saat saat itu. Mencoba menjelaskan, dalam skenario hidupmu, sudah seharusnya kamu sebagai sang sutradara. Kamu merekam, melihat dari lensa, berdecak kalau ada adegan sala. Tapi kamu tak sampai hati, kamu tidak pernah sekalipun bilang ’cut’ dan mengulang dari awal, karena memang tidak ada yang bisa diulang. Sementara dalam film itu kalian seperti tidak tahu naskah. Saling berbicara sendiri dan beradegan dengan indah tapi tidak emnyatu, tidak kontinu, tidak sinergi. Dan kalian tidak berusaha mencocokkannya.
Kamu sadar, dia lah bagian terbesar dalam hidupmu. Kebenaran tinggi yang kamu junjung dan kamu pegang erat, meski semua orang bilang itu kesalahan. Tapi kamu tidak peduli, bagimu dia lah Sang Pengikatmu, Si Harapanmu, tidak peduli ada yang bertanya di dalam mu, apakah ini benar adanya? Tapi tetap kamu jaga dan kamu rengkuh, kamu membatasinya dengan pagar, menjauhkannya dari semua yang bisa mengambilnya dari kamu, dan selalu memandangnya lekat lekat, seolah sungguh ini adalah hal terbaik yang pernah kamu miliki.

Tapi kamu juga tahu, cinta bukan hanya saling jujur akan rasa di awalnya. Cinta butuh bimbingan. Interaksi. Koreksi. Apresiasi. Bbukan Cuma saling tersenyum dalam kehampaan. Bukan saling melihat dengan jeda kosong diantara kamu dan dia. Bukan lantas terlihat baikbaik saja tapi sesungguhnya ada yang emngetikkan sejuta spasi diantara kata-kata kalian ebrdua. Kamu butuh cinta yang nyata. Yang selaras, dalam pengertian dunia mu dan dunia nya.Cinta tidak butuh angan agan sampai kapan kalian akan bertahan, tidak butuh rencana beberapa bulan ke depan. Cinta adalah mengalami, dan lagi-lagi, merasakan. Dan itu sungguh kamu. Itulah satu-satunya yang tidak bisa kamu ambil alih untuk kemudian kamu skenariokan, karena tidak ada yang pernah bisa mengerti apa yang sebaiknya ditulis. Cinta adalah misteris yang tidak pernah terang. Cinta adalah saling membaca. Cinta adalah saling mengerti. Lebih besar lagi, cinta adalah dia dan kamu. Dalam ikatan. Dalam komunikasi verbal, yang sudah diterjemahkan dalam dua bahasa kalian.

Dan lalu kamu tahu, itulah yang tidak bisa dia berikan.

Kamu lalu ingin sekali mencari tombol pause. Lalu merewind. Menolak semuanya dari awal, mencoba kembali ke masa lalu tidak Cuma untuk memperbaikinya, tapi untuk membatalkannya. Tapi lalu kamu tidak cukup kuat untuk menghapus semuanya, karena terlalu abnyak. Kamu takut sekali pada kata-kata sejarah. Ya, setelah ini semuanya akan berlabel sejarah, dan akan diarsipkan di dalam lemari, dan kamu kunci rapat-rapat.

Dan lalu kamu menangis sejadi-jadinya. Itu yang cukup melukiskan semuanya bukan. Tanpa kata. Tanpa metafora. Dalam bahasa universal. Dan itu wajar saja buat kamu.

Dia tidak pernah menyimpan foto mu, atau tulisan-tulisanmu, atau pesan-pesan penyemangatmu. Baginya tanpa suara adalah palsu, dan jelas-jelas kamu bukan seseorang yang mudah mendeskripsikan semuanya dalam lisan. Dia tdak tahu bagaimana tersiksanya merasakan seseorang, melihatnya lekat-lekat, menyadari senyumannya, bahasa sarkasmenya, tertawa mengingat candaanya, dan itu menyakitkan tentu buatmu. Dia tidak pernah tahu, karena dia Cuma punya informasi sedikit tentang rasa.

Dan kamu hanya bisa berbagi kesedihan ini dengan dirimu sendiri, dalam diam tangismu, dalam secangkir coklat panas yang mengepulkan asap, dalam senandung lagu klasik romantik. Sekali lagi, karena kamu dari dunia rasa. Dan itu sudah cukup buatmu untuk menemani mu menulis surat ini.

Lembar kedua, dia pasti sudah tahu apa tujuanmu menulis semuanya. Ksmu mengulang lagi semua kata-kata kesepakatan kalian tadi siang. Kamu yang dengan berani mangatakan semuanya, walau teramat sulit, dan dia yang dengan pasti menyetujuinya. Atau terbalik? Ah toh buat kamu rasa nya sama saja.
Dan seperti tadi siang juga. Tidak ada jeda cukup panjang seolah bertanya benarkah ini? Tidak ada tatapan mata yang mengatakan, sungguhkah perpisahan ini terjadi? Tidak ada uluran tangan dan ucapan-ucapan seperti tunggu, atau jangan pergi. Tidak ada sesuatu yang bisa menahanmu bahkan sampai membuatmu menghambur dan kembali ke pelukannya. Tidak ada kata, peluk, cium, tangis, yang menjadi penanda dramastis bahwa ini sudah usai. Sudah waktunya.

Dan pada titik akhir untaian kalimat yang kamu tuliskan dengan rapi, kamu berniat menyudahi semuanya. Menutup pena mu, semabri emnutup hatimu. Tapi pasti ada sedikit, kamu yang kecil, yang masih duduk diam di situ, tidak mau pergi. Yang bersikeras tetap tinggal dengan kenangan, karena merasa sangat tidak ingin kehilangan memori-memori perjalanan agung itu. Si kecil yang membuatmu lelah, dan dan membuatmu mebiarkannya bertengger dengan nyaman di situ, diiringi air mata mu yang sudah mulai habis.
Suatu saat nanti, jika si kecil bagian dari dirimu itu bosan, tentulah ia akan minta pulang. Akan mengetuk tembok tinggi tebal yang telah kamu bangun untuk mengokohkan benteng hatimu, melindunginya dari apapun yang bisa merapuhkannya. Atau bahkan dia akan plang membawa satu keyakinan baru akan harapan, menjadi titik terang untuk membawamu menemui seseorang. Kembali keluar dari keterasinganmu pada dunia. Kamu tidak tahu, kamu hanya bisa membiarkannya saat ini. Dan bukankah akan ada banyak waktu untuk dia duduk-duduk di kenangan itu, dan berfikir ulang untuk kembali ke dirimu yang utuh. Hanya tinggal tunggu waktu, bukankah begitu?

Dan terakhir, kamu melipatnya dengan lemah, memasukkannnya dalam sebuah amplop putih, melekatkannya. Lalu meletakkannya bersama setumpuk kertas-kertas putih lain di laci meja belajarmu. Yang kamu tulis dengan tujuan yang sama.

Surat surat itu, tidak pernah sampai. Seperti juga kamu padanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar